PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGELOLAAN
TEKNOLOGI TEPAT GUNA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka
efisiensi, efektivitas, nilai tambah dan mutu hasil produksi kegiatan
masyarakat, perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan
teknologi tepat guna;
b. bahwa Keputusan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Penerapan Teknologi Tepat
Guna sudah tidak sesuai dengan
perkembangan, sehingga perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan Teknologi Tepat Guna;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MELALUI PENGELOLAAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya
pengembangan masyarakat melalui penciptaan kondisi yang memungkinkan masyarakat
mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri melalui pemberian
sumberdaya, kesempatan dalam pengambilan keputusan, serta peningkatan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat.
2. Teknologi Tepat Guna yang selanjutnya disebut
TTG adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab
permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dapat dimanfaatkan dan
dipelihara oleh masyarakat secara mudah, serta menghasilkan nilai tambah dari
aspek ekonomi dan aspek lingkungan.
3. Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna selanjutnya
disebut Posyantek adalah lembaga kemasyarakatan di kecamatan yang memberikan
pelayanan teknis, informasi dan orientasi berbagai jenis TTG.
4. Warung Teknologi Tepat Guna selanjutnya
disebut Wartek adalah lembaga kemasyarakatan di desa/kelurahan yang memberikan
pelayanan teknis, informasi dan orientasi berbagai jenis TTG.
5. Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai
perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja kecamatan.
7. Kecamatan merupakan perangkat daerah
kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah
kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.
BAB II
SASARAN
Pasal 2
Sasaran pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG meliputi:
a. masyarakat penganggur, putus sekolah, dan
keluarga miskin;
b. masyarakat yang memiliki usaha mikro, kecil
dan menengah; dan
c. Posyantek dan Wartek.
BAB III
PRINSIP
Pasal 3
(1) Pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG
dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. meningkatkan usaha ekonomi;
b. mengembangkan kewirausahaan;
c. memberikan manfaat secara
berkelanjutan; dan
d. sederhana.
(2) Pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
partisipatif, keterpaduan, mempertimbangkan potensi sumber daya lokal,
berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat setempat.
BAB IV
MEKANISME
Pasal 4
(1) Pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG
secara nasional dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
(2) Pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG di provinsi dilakukan oleh pemerintah provinsi.
(3) Pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG di kabupaten/ kota dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 5
Menteri Dalam Negeri, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota
dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 6
(1) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. efisiensi;
b. efektivitas;
c. sinergi;
d. saling menguntungkan;
e. kesepakatan bersama;
f. itikad baik;
g. mengutamakan kepentingan nasional
dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
h. persamaan kedudukan;
i. transparansi;
j. keadilan; dan
k. kepastian hukum.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuat dalam Perjanjian Kerjasama yang memuat paling sedikit:
a. subjek kerja sama;
b. objek kerja sama;
c. ruang lingkup kerja sama;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. jangka waktu kerja sama;
f. pengakhiran kerja sama;
g. keadaan memaksa; dan
h. penyelesaian perselisihan.
(3) Dalam perjanjian kerjasama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat pengalihan TTG dari sumber teknologi
kepada masyarakat.
Pasal 7
Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG dilakukan melalui:
a. pemetaan kebutuhan;
b. pengkajian;
c. pengembangan;
d. pemasyarakatan; dan
e. penerapan.
Pasal 8
(1) Pemetaan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a, antara lain dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi
jenis TTG, jenis usaha, sosial budaya dan potensi sumber daya lokal.
(2) Hasil pemetaan kebutuhan TTG
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perencanaan pemanfaatan dan
pengembangan TTG.
Pasal 9
Pengkajian TTG sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b dilakukan dengan menganalisis hasil pemetaan untuk
pemanfaatan dan pengembangan TTG.
Pasal 10
(1) Pengembangan TTG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf c, antara lain dilakukan melalui inovasi TTG dan uji coba TTG.
(2) Hasil pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk penerapan TTG di masyarakat.
Pasal 11
(1) Menteri Dalam Negeri, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota melakukan fasilitasi perlindungan hukum terhadap
inovasi TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Fasilitasi perlindungan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengupayakan sertifikat
paten terhadap inovasi TTG.
Pasal 12
Menteri Dalam Negeri, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
memfasilitasi inovasi TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melalui lomba TTG
secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 13
(1) Pemasyarakatan TTG sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf d, dilakukan melalui kegiatan antara lain:
a. gelar/pameran TTG;
b. lokakarya TTG;
c. temu informasi TTG;
d. pelatihan;
e. pendampingan;
f. magang;
g. komunikasi informasi dan
edukasi TTG; atau
h. media massa.
(2) Pemasyarakatan TTG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk mengkomunikasikan penerapan TTG.
Pasal 14
(1) Penerapan TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 huruf e, dilakukan oleh masyarakat.
(2) Dalam rangka penerapan TTG oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pemberdayaan
masyarakat melalui:
a. pelatihan;
b. pemberian bantuan langsung; dan
c. pendampingan.
Pasal 15
Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, dapat
berbentuk:
a. pelatihan teknis;
b. pelatihan managemen;
c. studi banding; dan
d. pemagangan.
Pasal 16
(1) Pemberian bantuan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
huruf b, dapat berupa bantuan hibah dan bantuan sosial yang diberikan dalam
bentuk uang dan/atau barang.
(2) Pemberian bantuan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memberdayakan masyarakat dalam
memanfaatkan TTG.
Pasal 17
Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c, dilakukan untuk
memberdayakan masyarakat dalam penerapan TTG.
BAB V
LEMBAGA PELAYANAN TTG
Pasal 18
(1) Lembaga Pelayanan TTG terdiri atas:
a. Posyantek yang berkedudukan di
kecamatan; dan
b. Wartek yang berkedudukan di
desa/kelurahan.
(2) Lembaga pelayanan TTG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga kemasyarakatan.
Pasal 19
Lembaga pelayanan TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 mempunyai tugas:
a. memberikan pelayanan teknis, informasi dan
promosi jenis/ spesifikasi TTG;
b. memfasilitasi pemetaan kebutuhan dan
pengkajian TTG;
c. menjembatani masyarakat sebagai pengguna TTG
dengan sumber TTG:
d. memotivasi penerapan TTG di masyarakat;
e. memberikan layanan konsultasi dan pendampingan
kepada masyarakat dalam penerapan TTG; dan
f. memfasilitasi penerapan TTG.
Pasal 20
(1) Pembentukan lembaga pelayanan TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
di kecamatan dan kelurahan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
(2) Pembentukan lembaga pelayanan
TTG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) di desa ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Desa.
Pasal 21
(1) Pengurus Posyantek dan Wartek berdasarkan hasil
musyawarah pengurus lembaga kemasyarakatan.
(2) Susunan dan jumlah pengurus
Posyantek dan Wartek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
kebutuhan.
(3) Pengangkatan, hak dan kewajiban
pengurus Posyantek di kecamatan dan Wartek di kelurahan ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
Pasal 22
(1) Hubungan kerja antara Posyantek dengan
Kecamatan bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
(2) Hubungan kerja antara Posyantek
dengan lembaga kemasyarakatan lainnya di kecamatan bersifat konsultatif dan
koordinatif.
(3) Hubungan kerja antara Posyantek
dengan pihak ketiga di kecamatan bersifat kemitraan.
Pasal 23
(1) Hubungan kerja antara Wartek dengan Kelurahan
bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
(2) Hubungan kerja antara Wartek
dengan lembaga kemasyarakatan lainnya di kelurahan bersifat koordinatif dan
konsultatif.
(3) Hubungan kerja antara Wartek
dengan pihak ketiga di desa bersifat kemitraan.
Pasal 24
(1) Hubungan kerja antara Wartek dengan Desa
bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
(2) Hubungan kerja antara Wartek
dengan lembaga kemasyarakatan lainnya di desa bersifat koordinatif dan
konsultatif.
(3) Hubungan kerja antara Wartek
dengan pihak ketiga di desa bersifat kemitraan.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 25
(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG secara nasional.
(2) Gubernur melakukan pembinaan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG di provinsi.
(3) Bupati/Walikota melakukan
pembinaan pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG di kabupaten/kota.
(4) Kepala Desa melakukan pembinaan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG di desa.
Pasal 26
Pembinaan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1), antara lain:
a. koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
b. pemberian pedoman pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan TTG;
c. supervisi pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG;
d. monitoring dan evaluasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
e. pemberian penghargaan atas prestasi
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG; dan
f. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG.
Pasal 27
Pembinaan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), antara
lain:
a. koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
b. pemberian pedoman teknis pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
c. supervisi pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG;
d. monitoring dan evaluasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
e. pemberian penghargaan atas prestasi
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG; dan
f. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG.
Pasal 28
Pembinaan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3),
antara lain:
a. koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
b. supervisi pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG;
c. monitoring dan evaluasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG;
d. pemberian penghargaan atas prestasi
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG; dan
e. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG.
Pasal 29
Bupati/Walikota dapat melimpahkan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf c kepada Camat.
Pasal 30
Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf b dan huruf c kepada Lurah.
Pasal 31
Pembinaan Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4)
dilaksanakan melalui:
a. supervisi pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG; dan
b. monitoring dan evaluasi pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 32
(1) Kepala Desa melaporkan pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan TTG di desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
(2) Bupati/Walikota melaporkan
pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan TTG di kabupaten/kota kepada
Gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri.
(3) Gubernur melaporkan pemberdayaan
masyarakat melalui pengelolaan TTG di Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 33
(1) Pendanaan pemberdayaan masyarakat melalui
pengelolaan TTG di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan sumber-sumber lainnya yang sah
dan tidak mengikat.
(2) Pendanaan pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan TTG di provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan sumber-sumber lainnya yang sah dan
tidak mengikat.
(3) Pendanaan pemberdayaan masyarakat
melalui pengelolaan TTG secara nasional didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber-sumber lainnya yang sah dan tidak
mengikat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Penerapan Teknologi Tepat Guna
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan
TTG di provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur atau
Peraturan Bupati/ Walikota.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Februari 2010
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd
GAMAWAN FAUZI